Nana Misnara (Urang Balida) |
Bagai dalam peperangan, ia maju paling depan [terkadang ia sendirian], tak kenal seorangpun siapa atau apa didepan mata, nyaris kalah tapi kemudian pulang dengan hasil menyenangkan. Begitulah Nana Misnara apabila digambarkan.
Saya tauh pasti, Misnara telah menjadi seorang peniti
jalan yang sunyi entah kapan akan terlihat kembali. Senang berkhalwat pada
waktu-waktu tertentu. Termenung dalam kesendiriannya. Entah apa yang ia
pikirkan, apa mungkin seorang cewek? Aku tak tahu itu.
Baginya hidup adalah meng-ibrah setiap
kejadian, tuk dijadikan hikmah baginya. Ia bercanda [kadang mengejek], tertawa
bersama kawan-kawannya. Juga mendengar keluhan : tentang kawan-kawannya yang
terjebak dalam percintaan atau pun brokenhome. Atau tentang acara-acara gombaltaiment
ditelevisi yang kian menambah dosa dan membutakan. Ia bergulat dengan lika-liku
komunikasi, sains, spritualitas dan runyamnya dunia pendidikan yang bikin
kepala nyut-nyut-an.
Diatas semua itu, ia adalah sosok sahabat yang sungguh
amat menyenangkan, luar-dalam. Wajahnya tampak seperti tanpa dosa : sebar
senyum sana-sini, melempar tawa kemana saja, sehingga kawan lain menanyakan :
Kenapa bisa senyum terus?. Pada kali lain, yang ia lempar kesana dan kemari
adalah sebuah kritik, atau pun teguran. Meski tetap saja itu dilakukannya
sambil sebar senyum kesana-sini, seakan-akan yang ia kritik atau tegur itu
adalah kakeknya sendiri.
Wajahnya memang seakan diberi job khusus untuk
selalu melempar tawa, sebar senyum kesegala sudut. Kecuali disatu hari, tatkala
ia jatuh sakit [hati] karena ada suatu kejadian yang tak diharapkan hatinya, ia
masuk gerbang sekolah, berjalan dan duduk, lalu mencoba untuk tetap tersenyum,
meski yang terlihat wajah melas. Jadi, bayangkan dalam keadaan yang tak
diharapkan, pipinya yang smakin kempot, ia masih berusaha untuk tetap
tersenyum.
Saya jadi bertanya, jangan-jangan, tersenyum sudah
jadi bagian dari komitmen hidupnya. Berat dzon saya, mungkin itu
alasannya kenapa Misnara banyak melempar atau menebar senym kesegala sudut.
Termasuk [kadang] kepada orang yang tak dikenalnya.
Disamping senang tersenyum, ia juga pintar bergaul,
akibatnya kawan-kawan yang lain ber-empati padanya, dikepalanya tersimpan
rupa-rupa informasi, yang nantinya ia keluarkan untuk dijadikan gagasan. Ramai
berkeliaran seperti orang-orang di Pasar Malam (PM) Balida. Gagasan yang itu ia
lempar ke si ani, gagasan yang itu ia berikan ke si anu. Semuanya ia lakukan
dengan senang hati, toh hidup hanya satu kali ini saja, kenapa harus diarungi
dengan dengki dan serakah, berikan manfaat kepada orang lain, katanya suatu
kali sambil makan lengko ala mamah Kantin.
Misnara sadar sepenuhnya, berbagi itu membahagiakan,
berbagi itu mencerdaskan. Lalu apa yang ia bagi? Kesempatan, keceriaan, dukungan,
motivasi, juga solusi. Kadang juga ia berikan sebagian rizkinya kepada kawannya
yang mau.
Cara Misnara berjalan sungguh sangat fantastis, begitu
cepat. Seakan-akan ia didorong oleh dua setan sekaligus, kecuali saat-saat ngabrul
dengan kawan-kawanya, maka dia sedikit menyesuaikan Ternyata sifat sosialnya
tinggi juga. Misnara nyantri juga, [kadang] ketika ia berjalan selalu
merunduk. Ya mungkin ia sadar bahwa Nabi pun juga demikian.
Bagi saya sendiri, Misnara adalah sebuah pribadi yang
[sungguh] sangat sederhana. Tetapi tak kalah gagahnya, ketika ia disuruh
menjadi pelajar keliatan seperti seorang presiden bersanding dengan Kabinet
Tersusunnya.
Menurut saya, Misnara adalah mozaik yang
memiliki banyak wajah, ia dalah sosok yang diskusi bisa, mikir bisa, tidur
tentu, nyanyi juga bisa. Apalagi ia merasa bersyukur, karena tak lebih memiliki
suara yang bagus.
Bagi Misnara, hidup dimanapu, kapanpun menjadi apapun
atau tidak menjadi apapun tak ada bedanya. Menjadi apa disekolah atau tidak
menjadi apa disekolah, baginya itu adalah sebuah soal pilihan. Tapi ternyata
Misnara mungkin diberi kepercayaan oleh orang-orang sekelilingnya tuk memberi
manfaat atasnya.
Tulisan ini sebagai macam kado untuk Misnara dalam
rangka menyambut usia yang sebentar lagi akan naik. Dalam usia yang dewasa ini,
Misnara agaknya [atau semestinya] sudah mulai semakin sadar atas kedewasaannya.
Periode yang dekat dari segala hiruk pikuk panasnya dunia.
Akhirul Kalam, saya ingin berdo’a untuk dia :
Semoga yang ia inginkan ia dapatkan
Salam sejahtera sesama hamba Tuhan. Oleh : Hidayat
[teman dekat Misnara]
Bagai dalam peperangan, ia maju paling depan
[terkadang ia sendirian], tak kenal seorangpun siapa atau apa didepan mata,
nyaris kalah tapi kemudian pulang dengan hasil menyenangkan. Begitulah Nana
Misnara apabila digambarkan.
Saya tauh pasti, Misnara telah menjadi seorang peniti
jalan yang sunyi entah kapan akan terlihat kembali. Senang berkhalwat pada
waktu-waktu tertentu. Termenung dalam kesendiriannya. Entah apa yang ia
pikirkan, apa mungkin seorang cewek? Aku tak tahu itu.
Baginya hidup adalah meng-ibrah setiap
kejadian, tuk dijadikan hikmah baginya. Ia bercanda [kadang mengejek], tertawa
bersama kawan-kawannya. Juga mendengar keluhan : tentang kawan-kawannya yang
terjebak dalam percintaan atau pun brokenhome. Atau tentang acara-acara gombaltaiment
ditelevisi yang kian menambah dosa dan membutakan. Ia bergulat dengan lika-liku
komunikasi, sains, spritualitas dan runyamnya dunia pendidikan yang bikin
kepala nyut-nyut-an.
Diatas semua itu, ia adalah sosok sahabat yang sungguh
amat menyenangkan, luar-dalam. Wajahnya tampak seperti tanpa dosa : sebar
senyum sana-sini, melempar tawa kemana saja, sehingga kawan lain menanyakan :
Kenapa bisa senyum terus?. Pada kali lain, yang ia lempar kesana dan kemari
adalah sebuah kritik, atau pun teguran. Meski tetap saja itu dilakukannya
sambil sebar senyum kesana-sini, seakan-akan yang ia kritik atau tegur itu
adalah kakeknya sendiri.
Wajahnya memang seakan diberi job khusus untuk
selalu melempar tawa, sebar senyum kesegala sudut. Kecuali disatu hari, tatkala
ia jatuh sakit [hati] karena ada suatu kejadian yang tak diharapkan hatinya, ia
masuk gerbang sekolah, berjalan dan duduk, lalu mencoba untuk tetap tersenyum,
meski yang terlihat wajah melas. Jadi, bayangkan dalam keadaan yang tak
diharapkan, pipinya yang smakin kempot, ia masih berusaha untuk tetap
tersenyum.
Saya jadi bertanya, jangan-jangan, tersenyum sudah
jadi bagian dari komitmen hidupnya. Berat dzon saya, mungkin itu
alasannya kenapa Misnara banyak melempar atau menebar senym kesegala sudut.
Termasuk [kadang] kepada orang yang tak dikenalnya.
Disamping senang tersenyum, ia juga pintar bergaul,
akibatnya kawan-kawan yang lain ber-empati padanya, dikepalanya tersimpan
rupa-rupa informasi, yang nantinya ia keluarkan untuk dijadikan gagasan. Ramai
berkeliaran seperti orang-orang di Pasar Malam (PM) Balida. Gagasan yang itu ia
lempar ke si ani, gagasan yang itu ia berikan ke si anu. Semuanya ia lakukan
dengan senang hati, toh hidup hanya satu kali ini saja, kenapa harus diarungi
dengan dengki dan serakah, berikan manfaat kepada orang lain, katanya suatu
kali sambil makan lengko ala mamah Kantin.
Misnara sadar sepenuhnya, berbagi itu membahagiakan,
berbagi itu mencerdaskan. Lalu apa yang ia bagi? Kesempatan, keceriaan, dukungan,
motivasi, juga solusi. Kadang juga ia berikan sebagian rizkinya kepada kawannya
yang mau.
Cara Misnara berjalan sungguh sangat fantastis, begitu
cepat. Seakan-akan ia didorong oleh dua setan sekaligus, kecuali saat-saat ngabrul
dengan kawan-kawanya, maka dia sedikit menyesuaikan Ternyata sifat sosialnya
tinggi juga. Misnara nyantri juga, [kadang] ketika ia berjalan selalu
merunduk. Ya mungkin ia sadar bahwa Nabi pun juga demikian.
Bagi saya sendiri, Misnara adalah sebuah pribadi yang
[sungguh] sangat sederhana. Tetapi tak kalah gagahnya, ketika ia disuruh
menjadi pelajar keliatan seperti seorang presiden bersanding dengan Kabinet
Tersusunnya.
Menurut saya, Misnara adalah mozaik yang
memiliki banyak wajah, ia dalah sosok yang diskusi bisa, mikir bisa, tidur
tentu, nyanyi juga bisa. Apalagi ia merasa bersyukur, karena tak lebih memiliki
suara yang bagus.
Bagi Misnara, hidup dimanapu, kapanpun menjadi apapun
atau tidak menjadi apapun tak ada bedanya. Menjadi apa disekolah atau tidak
menjadi apa disekolah, baginya itu adalah sebuah soal pilihan. Tapi ternyata
Misnara mungkin diberi kepercayaan oleh orang-orang sekelilingnya tuk memberi
manfaat atasnya.
Tulisan ini sebagai macam kado untuk Misnara dalam
rangka menyambut usia yang sebentar lagi akan naik. Dalam usia yang dewasa ini,
Misnara agaknya [atau semestinya] sudah mulai semakin sadar atas kedewasaannya.
Periode yang dekat dari segala hiruk pikuk panasnya dunia.
Akhirul Kalam, saya ingin berdo’a untuk dia :
Semoga yang ia inginkan ia dapatkan
Salam sejahtera sesama hamba Tuhan. Oleh : Hidayat
[teman dekat Misnara]
Bagai
dalam peperangan, ia maju paling depan [terkadang ia sendirian], tak
kenal seorangpun siapa atau apa didepan mata, nyaris kalah tapi kemudian
pulang dengan hasil menyenangkan. Begitulah Nana Misnara apabila
digambarkan.
Saya tauh pasti, Misnara telah menjadi seorang peniti jalan yang sunyi
entah kapan akan terlihat kembali. Senang berkhalwat pada waktu-waktu
tertentu. Termenung dalam kesendiriannya. Entah apa yang ia pikirkan,
apa mungkin seorang cewek? Aku tak tahu itu.
Baginya hidup adalah meng-ibrah setiap kejadian, tuk dijadikan
hikmah baginya. Ia bercanda [kadang mengejek], tertawa bersama
kawan-kawannya. Juga mendengar keluhan : tentang kawan-kawannya yang
terjebak dalam percintaan atau pun brokenhome. Atau tentang acara-acara gombaltaiment
ditelevisi yang kian menambah dosa dan membutakan. Ia bergulat dengan
lika-liku komunikasi, sains, spritualitas dan runyamnya dunia pendidikan
yang bikin kepala nyut-nyut-an.
Diatas semua itu, ia adalah sosok sahabat yang sungguh amat
menyenangkan, luar-dalam. Wajahnya tampak seperti tanpa dosa : sebar
senyum sana-sini, melempar tawa kemana saja, sehingga kawan lain
menanyakan : Kenapa bisa senyum terus?. Pada kali lain, yang ia lempar
kesana dan kemari adalah sebuah kritik, atau pun teguran. Meski tetap
saja itu dilakukannya sambil sebar senyum kesana-sini, seakan-akan yang
ia kritik atau tegur itu adalah kakeknya sendiri.
Wajahnya memang seakan diberi job khusus untuk selalu melempar
tawa, sebar senyum kesegala sudut. Kecuali disatu hari, tatkala ia jatuh
sakit [hati] karena ada suatu kejadian yang tak diharapkan hatinya, ia
masuk gerbang sekolah, berjalan dan duduk, lalu mencoba untuk tetap
tersenyum, meski yang terlihat wajah melas. Jadi, bayangkan dalam keadaan yang tak diharapkan, pipinya yang smakin kempot, ia masih berusaha untuk tetap tersenyum.
Saya jadi bertanya, jangan-jangan, tersenyum sudah jadi bagian dari komitmen hidupnya. Berat dzon
saya, mungkin itu alasannya kenapa Misnara banyak melempar atau menebar
senym kesegala sudut. Termasuk [kadang] kepada orang yang tak
dikenalnya.
Disamping senang tersenyum, ia juga pintar bergaul, akibatnya
kawan-kawan yang lain ber-empati padanya, dikepalanya tersimpan
rupa-rupa informasi, yang nantinya ia keluarkan untuk dijadikan gagasan.
Ramai berkeliaran seperti orang-orang di Pasar Malam (PM) Balida.
Gagasan yang itu ia lempar ke si ani, gagasan yang itu ia berikan ke si
anu. Semuanya ia lakukan dengan senang hati, toh hidup hanya satu kali
ini saja, kenapa harus diarungi dengan dengki dan serakah, berikan
manfaat kepada orang lain, katanya suatu kali sambil makan lengko ala
mamah Kantin.
Misnara sadar sepenuhnya, berbagi itu membahagiakan, berbagi itu
mencerdaskan. Lalu apa yang ia bagi? Kesempatan, keceriaan, dukungan,
motivasi, juga solusi. Kadang juga ia berikan sebagian rizkinya kepada
kawannya yang mau.
Cara Misnara berjalan sungguh sangat fantastis, begitu cepat.
Seakan-akan ia didorong oleh dua setan sekaligus, kecuali saat-saat ngabrul dengan kawan-kawanya, maka dia sedikit menyesuaikan Ternyata sifat sosialnya tinggi juga. Misnara nyantri juga, [kadang] ketika ia berjalan selalu merunduk. Ya mungkin ia sadar bahwa Nabi pun juga demikian.
Bagi saya sendiri, Misnara adalah sebuah pribadi yang [sungguh] sangat
sederhana. Tetapi tak kalah gagahnya, ketika ia disuruh menjadi pelajar
keliatan seperti seorang presiden bersanding dengan Kabinet Tersusunnya.
Menurut saya, Misnara adalah mozaik yang memiliki banyak wajah,
ia dalah sosok yang diskusi bisa, mikir bisa, tidur tentu, nyanyi juga
bisa. Apalagi ia merasa bersyukur, karena tak lebih memiliki suara yang
bagus.
Bagi Misnara, hidup dimanapu, kapanpun menjadi apapun atau tidak menjadi
apapun tak ada bedanya. Menjadi apa disekolah atau tidak menjadi apa
disekolah, baginya itu adalah sebuah soal pilihan. Tapi ternyata Misnara
mungkin diberi kepercayaan oleh orang-orang sekelilingnya tuk memberi
manfaat atasnya.
Tulisan ini sebagai macam kado untuk Misnara dalam rangka menyambut usia
yang sebentar lagi akan naik. Dalam usia yang dewasa ini, Misnara
agaknya [atau semestinya] sudah mulai semakin sadar atas kedewasaannya.
Periode yang dekat dari segala hiruk pikuk panasnya dunia.
Akhirul Kalam, saya ingin berdo’a untuk dia :
Semoga yang ia inginkan ia dapatkan
Salam sejahtera sesama hamba Tuhan.
Oleh : Hidayat [teman dekat Misnara]
- See more at: http://nana-misnara.blogspot.com/2009/09/antropologi-nana-misnara.html#sthash.rYnuh4if.dpufOleh : Hidayat [teman dekat Misnara]
Bagai
dalam peperangan, ia maju paling depan [terkadang ia sendirian], tak
kenal seorangpun siapa atau apa didepan mata, nyaris kalah tapi kemudian
pulang dengan hasil menyenangkan. Begitulah Nana Misnara apabila
digambarkan.
Saya tauh pasti, Misnara telah menjadi seorang peniti jalan yang sunyi
entah kapan akan terlihat kembali. Senang berkhalwat pada waktu-waktu
tertentu. Termenung dalam kesendiriannya. Entah apa yang ia pikirkan,
apa mungkin seorang cewek? Aku tak tahu itu.
Baginya hidup adalah meng-ibrah setiap kejadian, tuk dijadikan
hikmah baginya. Ia bercanda [kadang mengejek], tertawa bersama
kawan-kawannya. Juga mendengar keluhan : tentang kawan-kawannya yang
terjebak dalam percintaan atau pun brokenhome. Atau tentang acara-acara gombaltaiment
ditelevisi yang kian menambah dosa dan membutakan. Ia bergulat dengan
lika-liku komunikasi, sains, spritualitas dan runyamnya dunia pendidikan
yang bikin kepala nyut-nyut-an.
Diatas semua itu, ia adalah sosok sahabat yang sungguh amat
menyenangkan, luar-dalam. Wajahnya tampak seperti tanpa dosa : sebar
senyum sana-sini, melempar tawa kemana saja, sehingga kawan lain
menanyakan : Kenapa bisa senyum terus?. Pada kali lain, yang ia lempar
kesana dan kemari adalah sebuah kritik, atau pun teguran. Meski tetap
saja itu dilakukannya sambil sebar senyum kesana-sini, seakan-akan yang
ia kritik atau tegur itu adalah kakeknya sendiri.
Wajahnya memang seakan diberi job khusus untuk selalu melempar
tawa, sebar senyum kesegala sudut. Kecuali disatu hari, tatkala ia jatuh
sakit [hati] karena ada suatu kejadian yang tak diharapkan hatinya, ia
masuk gerbang sekolah, berjalan dan duduk, lalu mencoba untuk tetap
tersenyum, meski yang terlihat wajah melas. Jadi, bayangkan dalam keadaan yang tak diharapkan, pipinya yang smakin kempot, ia masih berusaha untuk tetap tersenyum.
Saya jadi bertanya, jangan-jangan, tersenyum sudah jadi bagian dari komitmen hidupnya. Berat dzon
saya, mungkin itu alasannya kenapa Misnara banyak melempar atau menebar
senym kesegala sudut. Termasuk [kadang] kepada orang yang tak
dikenalnya.
Disamping senang tersenyum, ia juga pintar bergaul, akibatnya
kawan-kawan yang lain ber-empati padanya, dikepalanya tersimpan
rupa-rupa informasi, yang nantinya ia keluarkan untuk dijadikan gagasan.
Ramai berkeliaran seperti orang-orang di Pasar Malam (PM) Balida.
Gagasan yang itu ia lempar ke si ani, gagasan yang itu ia berikan ke si
anu. Semuanya ia lakukan dengan senang hati, toh hidup hanya satu kali
ini saja, kenapa harus diarungi dengan dengki dan serakah, berikan
manfaat kepada orang lain, katanya suatu kali sambil makan lengko ala
mamah Kantin.
Misnara sadar sepenuhnya, berbagi itu membahagiakan, berbagi itu
mencerdaskan. Lalu apa yang ia bagi? Kesempatan, keceriaan, dukungan,
motivasi, juga solusi. Kadang juga ia berikan sebagian rizkinya kepada
kawannya yang mau.
Cara Misnara berjalan sungguh sangat fantastis, begitu cepat.
Seakan-akan ia didorong oleh dua setan sekaligus, kecuali saat-saat ngabrul dengan kawan-kawanya, maka dia sedikit menyesuaikan Ternyata sifat sosialnya tinggi juga. Misnara nyantri juga, [kadang] ketika ia berjalan selalu merunduk. Ya mungkin ia sadar bahwa Nabi pun juga demikian.
Bagi saya sendiri, Misnara adalah sebuah pribadi yang [sungguh] sangat
sederhana. Tetapi tak kalah gagahnya, ketika ia disuruh menjadi pelajar
keliatan seperti seorang presiden bersanding dengan Kabinet Tersusunnya.
Menurut saya, Misnara adalah mozaik yang memiliki banyak wajah,
ia dalah sosok yang diskusi bisa, mikir bisa, tidur tentu, nyanyi juga
bisa. Apalagi ia merasa bersyukur, karena tak lebih memiliki suara yang
bagus.
Bagi Misnara, hidup dimanapu, kapanpun menjadi apapun atau tidak menjadi
apapun tak ada bedanya. Menjadi apa disekolah atau tidak menjadi apa
disekolah, baginya itu adalah sebuah soal pilihan. Tapi ternyata Misnara
mungkin diberi kepercayaan oleh orang-orang sekelilingnya tuk memberi
manfaat atasnya.
Tulisan ini sebagai macam kado untuk Misnara dalam rangka menyambut usia
yang sebentar lagi akan naik. Dalam usia yang dewasa ini, Misnara
agaknya [atau semestinya] sudah mulai semakin sadar atas kedewasaannya.
Periode yang dekat dari segala hiruk pikuk panasnya dunia.
Akhirul Kalam, saya ingin berdo’a untuk dia :
Semoga yang ia inginkan ia dapatkan
Salam sejahtera sesama hamba Tuhan.
Oleh : Hidayat [teman dekat Misnara]
- See more at: http://nana-misnara.blogspot.com/2009/09/antropologi-nana-misnara.html#sthash.rYnuh4if.dpufOleh : Hidayat [teman dekat Misnara]
Artikel Terkait