Tatang M. Amirin
Tanpa sengaja ada foto-foto “antik” jaman baheula mengenai berbagai hal tertemukan ketika sedang memirsa internet. Ada yang saya simpan, ada yang saya lewatkan begitu saja. Eh, “pikir punya pikir” (setelah dipikir ditimbang), kok rasanya ada pentingnya juga untuk dimunculkan. Siapa tahu memang ada yang sama sekali tidak tahu bahwa “jaman baheula” (yang mungkin juga sampai sekarang sebenarnya masih) ada yang seperti itu. Nah, ini dia berbagai foto-foto “jaman baheula.” Agak “chauvinistic” tapi, yang utama di Sunda, tapi yang lain yang antik tetap dimuat.
PEKERJAAN DAN PERALATAN
1. Menggergaji kayu
Nah ini kita mulai dengan orang menggergaji kayu gelondongan. Saya
ingat, dulu sekali, ada tukang menggergaji itu tradisional seperti itu.
Kerap pula dijadikan “tatarucingan” tebak-tebakan agak “saru” (kata wong
Jogja) atau rada “jorang” (kata urang Sunda): “Yang di atas naik
turun, yang di bawah berkedip-kedip (“melek-merem/peureum-beunta”).
Hehehe… Iya, kan yang di atas menarik dan mengulur gergaji, sementara
yang di bawah kan harus agak sering menutup dan membuka mata, karena
tahi gergajian yang berjatuhan bisa masuk ke matanya.
Biasanya tukang gergaji punya “penggaris”
dari benang. Benang tersebut tergulung dalam gulungan yang bisa diputar
dalam suatu kotak. Dalam kotak ada jelaga hitam kental, sehingga benang
pun berlumuran jelaga tersebut. Benang keluar dari lubang kecil yang
dibuat di depan kotak, ujungnya diberi pegangan kecil. Pegangan kecil
itu ditarik untuk mengulur benag. Benang basah hitam diulur searah
batang kayu yang sudah dikikis tepian bulatannya sehingga menjadi agak
berbentuk balok, dipaskan tanda sentian yang sudah dibuat, lalu
dijepretkan ke kayu. Terbentuklah garis hitam. Dibuatlah banyak garis di
bagian atas dan di bagian bawah sesuai dengan lebar kayu. Benang pun
ditarik kembali menggunakan alat pemutar, masuk dan terendam jelaga
hitam lagi. Jelaganya, kalau tidak salah, dibuat dari silinder isi batu
baterai.
Pasar makanan dan minuman di kerindangan pohon, 1910-1940 (Hehehe, jangan terlampau lama perhatikan sikecil, lho!)
Tanpa sengaja ada foto-foto “antik” jaman baheula mengenai berbagai hal tertemukan ketika sedang memirsa internet. Ada yang saya simpan, ada yang saya lewatkan begitu saja. Eh, “pikir punya pikir” (setelah dipikir ditimbang), kok rasanya ada pentingnya juga untuk dimunculkan. Siapa tahu memang ada yang sama sekali tidak tahu bahwa “jaman baheula” (yang mungkin juga sampai sekarang sebenarnya masih) ada yang seperti itu. Nah, ini dia berbagai foto-foto “jaman baheula.” Agak “chauvinistic” tapi, yang utama di Sunda, tapi yang lain yang antik tetap dimuat.
PEKERJAAN DAN PERALATAN
1. Menggergaji kayu

Menggergaji kayu gelondongan tradisional

Penggergaji di atas bertugas menggergaji
sesuai garis, yang di bawah mengendalikan arah gigi gergaji di bagian
bawah kayu agar pas dengan garis. Maka kayu pun terbelah rapih, rata,
tepat.
Gergaji panjang luar negeri, gigi-giginya agak aneh
2. Membajak Sawah
Besok lusa, entah tahun kapan, membajak
sawah sudah akan banyak menggunakan traktor. Baheula mah membajak sawah
di tatar Sunda pakai “wuluku” (wong Jogja menyebutnya “luku”). Hanya,
bedanya, jika di Sunda yang dipakai penarik bajak itu umumnya kerbau, di
Jogja sapi alias lembu. Urang Majalengka mah menyebut membajak sawah
teh “nyambut.”
Etah ingat waktu kecil, tukang nyambut teh, kipembajak, suka mengomando sikebo sambil berlagu khas, “His … kia, kia …. mideur….!” menyuruh sikebo bergerak menarik bajak.
“Kia” itu, katanya, artinya jalan. “Kiyahi”
itu artinya orang yang selalu berjalan di jalan yang lempang. Nah,
mungkin juga “bakia(k)” itu artinya kayu yang berjalan. Hehehe….
Ini foto tukang nyambut, pembajak, setelah wanci pecat sawed (saat bajak dilepas dari sikebo). Tukang nyambut pulang ke rumah, setelah selesai memandikan (“ngaguyang”) kerbaunya di sungai.
“Pulang” selesai membajak sawah pakai bajak ditarik kerbau
Membajak sawah dengan kerbau itu ternyata bukan hanya tradisi buhun di Jawa Barat, di Jawa Timur juga ada, misalnya di Malang.
Di Gayo, ceriteranya lain lagi. Membajak sawah bukan pakai kerbau atau sapi, tapi pakai kuda.
PERDAGANGAN
Sampai saat ini masih ada, tapi sangat amat
jarang sekali, di desa-desa pun, orang berjualan air nira kelapa
(lahang, cikalahang). Ini sih penjualnya rada “gaya.” Pembelinya,
anak-anak, “lucu” ya dalam pakaian “kuno” tahun 1922-1923-an. Diambil
dari Come to Java 1922-1923.
Sore-sore, bunga kelapa (malai) dipotong
tangkainya, lalu dimasukkan ke dalam bumbung bambu panjang yang sudah
“dilubangi” tinggal “buku” bagian bawah sebagai penutup nbumbung. Esok
paginya bumbung diambil, lalu disumbat pakai sumbatan dari daun pepaya
kering (kararas, klaras). Dicangkleng dibawa turun. Air nira itu
dijerang dijadikan gula jawa. Ada juga yang menjaulnya “mentah” sebagai
minuman segar. Wah, siang-siang lagi puasa, minum “lahang” pasti
nikmat. Batal puasanya, atuh! Hehehe. Kan, lagi enggak puasa. Hehehe.
uga penjual air nira (“lahang”). Enggak tahu orang mana.
Lukisan penjaja air nira dan serdadu Belanda, 1854
Deretan pedagang “angkringan” jaman Belanda
Penjaja barang anyaman 1880-1920
Penjaja sarung 1860-1880
Penjual ayam 1860-1880. Foto di studio.

Sayur…., sayur……… 1890
Penjual es puter, jaman Belanda
Penjual gula aren, 1900-an
Penjual buah, 1860-1880
Te…. satte….. 1870-1920
Penjual limun (limonade; sekarang sirup dan softdrink)
Simbah tukang patri “in action”

Peralatan tukang patri
Matri
Artikel Terkait
Posting Komentar