Tempat Ngeblogna Orang Balida

Sunda Kabaeulakeun (Sawah dan Panen)

Padi sekarang batangnya pendek-pendek. Begitu selesai dipanen lalu dirontokkan, dengan digilas-gilas kaki atau pakai mesin perontok padi. Dulu, tanaman padi tinggi-tinggi. Orang menuainya dengan ani-ani. Bulir-bulir padi itu lalu diikat kecil-kecil (di-“pocong”). “Pocongan” padi ini lalu diikat lagi, pakai tali dari bambu, menjadi ikatan besar yang disebut “geugeusan.” “Geugeusan” padi ini yang dijemur, lalu disimpan di “leuit” lumbung padi (bagi yang punya). Nah, lihat tumpukan “geugeusan” padi dalam foto di bawah ini.
Panen padi: Padi diikat dalam “pocongan” (ikatan kecil)
Panen padi “gegeusan”
Menumbuk padi pakai lesung batu, 1890-1920
Padi: Ada yang ditumbuk, ada yang digiling. Buahbatu, Bandung, 1955
Tradisi kepercayaan Sunda (Jawa) berkaitan dengan padi itu adalah sedekahan kepada Dewi Sri, Dewi Padi.
Upacara sedekahan kepada Dewi Sri, 1947
Upacara sedekahan kepada Dewi Sri di dusun Karangtengah dipimpin seorang dukun wanita
 
Juga upacara untuk Dewi Sri
Upacara Dewi Sri lagi, di Karangtengah
5. Mengambil Air
Dulu, orang umumnya tidak punya sumur. Untuk air minum mengambilnya di sungai, yang airnya jernih, tentu. Mandi, mencuci juga di sungai. Jika pulang membawa air pakai “buyung” tempayan terbuat dari tembaga.
Seorang ibu membawa buyung untuk mengambil air
 
Mengambil air pakai tempayan “buyung” tembaga, 1951. Seledang kecil dipakai untuk mengikat buyung, lalu diikatkan ke pundak.
Jadi ingat waktu kecil. Mengisi gentong di rumah dengan mengambil air di sungai. Berangkat pulagn bersama-sama anak-anak lain. Ketika akan ambil air, tempayan “buyung” dibalik, dipukul-pukul berirama. Jadilah main musik buyung. Dung, dung, deng . . . dung, dung, dung … dung, dung, deng.  Deng, dung, deng, dung . . .  dung, dung, deng  . . .
Sebelum banyak kuningan (perunggu), orang mengambil air menggunakan tempurung (batok) buah berenuk (buah majaphit).
 
Batok berenuk (tempurung buah majapahit/majalengka)
 
Buyung dan seeng (dandang)
6. “Ngabuwu” Ikan
Menangkap ikan, sampai sekarang, tidak selalu pakai jaring (“kecrik”), tapi sering juga hanya pakai bubu (buwu) saja, seperti keluarga penangkap ikan ini. Ada beberapa buah bubu tergeletak di depan mereka.
Jadi ingat waktu kecil. Disuruh masang “buwu” di sungai teh, salah masang. Bagian yang lebar berlubang diarahkan ke hulu, yang kecil ke hilir. Atuh, tak ada ikan yang masuk. Ikan itu suka menghulu, “kagirangkeun.” Jadi, dipasangi bubu sambil kiri-kananya dibumpeti. Pasti akan harus lewat masuk bubu, lalu tak bisa keluar lagi. Sebelah atas bubu ditutupi, disumbat. Kembali ke “bawah” tidak bisa, sebab ada “katup” penghalang. Bisa dimasuki, melentur, tapi tak bisa diterobos balik. Itu namanya teknologi sederhana jebakan alias perangkap. Pintar juga ya orang tua kita dahulu.
Keluarga penangkap ikan pakai bubu, 1930-1940Keluarga penangkap ikan, 1930-1940

Bubu (buwu) penangkap ikan
7. Mencangkul
Mencangkul itu umumnya pakai cangkul bergagang pendek. Yang suka bergagang panjang itu, yang pernah saya lihat gambarnya, di Cina atau Vietnam. Eh, ternyata di Indonesia juga digunakan cangkul tangkai panjang itu. Jadi, jika pakai cangkul pendek harus sambil membungku, pakai cangkul panjang dengan berdiri tegak. Lebih enak, kayanya, tak mudah sakit pinggang.
 
Mencangkul dengan cangkul panjang di Bah Birung Ulu
Rame-rame mencangkul pakai cangkul panjang di Bangka
8. Membuat Jalan
Baheula, membuat jalan itu dengan cara dan alat sederhana. Belum ada model mengaspal dengan “hotmix.” Mengeraskan jalan (meratakan pecahan bebatuan) menggunakan mesin gilas atau “setum” (dari bahasa Belanda stoomploeg).
Mesin gilas stoomploeg di Deli, 1935
Mengaspal Jalan Batavia-Bandoeng, 1947
Mengaspal jalan Batavia-Bandoeng, 1947, dalam pengawasan mandor dan tentara Belanda. Aspal diciduk dan diguyurkan pakai kaleng bertangkai panjang.

Sumber : https://tatangmanguny.wordpress.com
Artikel Terkait
Bagikan Artikel ini :
+
Previous
Next Post »

Posting Komentar

Terima Kasih Sudah Berkomentar
 
Back To Top