Padi sekarang batangnya pendek-pendek.
Begitu selesai dipanen lalu dirontokkan, dengan digilas-gilas kaki atau
pakai mesin perontok padi. Dulu, tanaman padi tinggi-tinggi. Orang
menuainya dengan ani-ani. Bulir-bulir padi itu lalu diikat kecil-kecil
(di-“pocong”). “Pocongan” padi ini lalu diikat lagi, pakai tali dari
bambu, menjadi ikatan besar yang disebut “geugeusan.” “Geugeusan” padi
ini yang dijemur, lalu disimpan di “leuit” lumbung padi (bagi yang
punya). Nah, lihat tumpukan “geugeusan” padi dalam foto di bawah ini.
Tradisi kepercayaan Sunda (Jawa) berkaitan dengan padi itu adalah sedekahan kepada Dewi Sri, Dewi Padi.
Juga upacara untuk Dewi Sri
5. Mengambil Air
Dulu, orang umumnya tidak punya sumur. Untuk
air minum mengambilnya di sungai, yang airnya jernih, tentu. Mandi,
mencuci juga di sungai. Jika pulang membawa air pakai “buyung” tempayan
terbuat dari tembaga.
Mengambil air pakai tempayan “buyung” tembaga, 1951. Seledang kecil dipakai untuk mengikat buyung, lalu diikatkan ke pundak.
Jadi ingat waktu kecil. Mengisi gentong di
rumah dengan mengambil air di sungai. Berangkat pulagn bersama-sama
anak-anak lain. Ketika akan ambil air, tempayan “buyung” dibalik,
dipukul-pukul berirama. Jadilah main musik buyung. Dung, dung, deng . . .
dung, dung, dung … dung, dung, deng. Deng, dung, deng, dung . . .
dung, dung, deng . . .
Sebelum banyak kuningan (perunggu), orang mengambil air menggunakan tempurung (batok) buah berenuk (buah majaphit).
Batok berenuk (tempurung buah majapahit/majalengka)
Buyung dan seeng (dandang)
6. “Ngabuwu” Ikan
Menangkap ikan, sampai sekarang, tidak
selalu pakai jaring (“kecrik”), tapi sering juga hanya pakai bubu (buwu)
saja, seperti keluarga penangkap ikan ini. Ada beberapa buah bubu
tergeletak di depan mereka.
Jadi ingat waktu kecil. Disuruh masang “buwu” di sungai teh, salah masang. Bagian yang lebar berlubang diarahkan ke hulu, yang kecil ke hilir. Atuh, tak ada ikan yang masuk. Ikan itu suka menghulu, “kagirangkeun.”
Jadi, dipasangi bubu sambil kiri-kananya dibumpeti. Pasti akan harus
lewat masuk bubu, lalu tak bisa keluar lagi. Sebelah atas bubu ditutupi,
disumbat. Kembali ke “bawah” tidak bisa, sebab ada “katup” penghalang.
Bisa dimasuki, melentur, tapi tak bisa diterobos balik. Itu namanya
teknologi sederhana jebakan alias perangkap. Pintar juga ya orang tua
kita dahulu.
7. Mencangkul
Mencangkul itu umumnya pakai cangkul
bergagang pendek. Yang suka bergagang panjang itu, yang pernah saya
lihat gambarnya, di Cina atau Vietnam. Eh, ternyata di Indonesia juga
digunakan cangkul tangkai panjang itu. Jadi, jika pakai cangkul pendek
harus sambil membungku, pakai cangkul panjang dengan berdiri tegak.
Lebih enak, kayanya, tak mudah sakit pinggang.
Mencangkul dengan cangkul panjang di Bah Birung Ulu
8. Membuat Jalan
Baheula, membuat jalan itu dengan cara dan
alat sederhana. Belum ada model mengaspal dengan “hotmix.” Mengeraskan
jalan (meratakan pecahan bebatuan) menggunakan mesin gilas atau “setum”
(dari bahasa Belanda stoomploeg).
Mengaspal jalan Batavia-Bandoeng, 1947, dalam pengawasan mandor dan
tentara Belanda. Aspal diciduk dan diguyurkan pakai kaleng bertangkai
panjang.Sumber : https://tatangmanguny.wordpress.com
Artikel Terkait
Posting Komentar